Berkiblat Ke Ka'bah (Masjid Al Haram)

اَلْحَمْـدُ للهِ الَّذِى اَمرَ عِِبَادَهُ عَلَى الصّلَواةِ التَّوَجُّه اِلَى بَيْتِ اللهِ الْحَــــرَام
اَشْهَـدُ اَنْ لاَاِلَــهَ اِلاَّ اللهُ وَحْــدَهُ لاَشَـــرِيْكَ لَهُ المَلِكُ العَــــلاَّم
وَاَشْهَــــدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّـدًا عَـبْـدُهُ وَرَسُوْلُــــهُ سَـيِّـدُ الاَنَام
صَــلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَــحْبِهِ وَسَــــــــــــلَّم
اَمَّابَعْدُ:فَاُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَ المَسْجِدِ الْحَرَام

Ma'asyiralmuslimin Rahimakumullah

Perintah untuk menghadapkan wajah ke arah kiblat sewaktu melakukan shalat sebenarnya bukan sembarang perintah. Sebab perintah ini merujuk kepada firman Allah Ta'ala dan Sunnah Rasul-Nya. Allah berfirman ;


فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ. وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَاكُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ
"Palingkanlah wajahmu ke arah Masjid Al Haram; sesungguhnya ketentuan ini benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjid Al Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu kearahnya . . .". (Qs. 2 : 144 dan 150)

Lafadz "Fawalli Wajhaka" pada ayat-ayat ini disebutkan dalam bentuk mufrad dan jamak.Pemakaian bentuk mufrad mengisyaratkan arah Ainul-ka'bah. Sedang bentuk jamak menunjukkan arah Jihatul ka'bah. Ayat-ayat suci itu dengan tegas menasakh perintah menghadap kearah "Baitul Maqdis" di Yerusalem. Dan apabila dilihat dari aspek Pramasastra Arab, kedua bentuk lafadz tersebut, baik mufrad maupun jamak merupakan bentuk kata kerja perintah (fi'il amr). Yang dalam perspektif kaidah Ushuliah "Al Ashlu fil Amr lilwujubi illa maa dallad-daliilu 'ala khilaafihil — Pada pokoknya setiap perintah itu menunjukkan wajib kecuali ada dalil yang menyatakan sebaliknya". Kalau begitu nyatalah, berkiblat ke-ka'bah bagi orang yang melakukan shalat, terutama shalat lima waktu hukumnya wajib. Adapun lafadz "Syathralmasjidilharam" atau "Syathrahu" dalam ayat di atas maksudnya "Ka'bah" di Mekah. Yaitu tempat suci yang dibangun pertama kali di muka bumi untuk men-tauhid-kan Allah, sekaligus menyingkirkan semua bentuk kemusyrikan. Perintah menghadap focus ke-Ka'bah ini turun saat Nabi kita bersama sebagian umatnya baru saja melakukan dua raka'at dari shalat Zhuhur di Masjid Bani Salamah. Pada dua raka'at pertama, beliau berkiblat ke-Baitulmaqdis di Yerusalem, ke- mudian pada dua raka'at yang kedua berkiblat ke-Masjid Al Haram di Mekah, sehingga Masjid Bani Salamah disebut dengan Masjid Qiblatain (Masjid yang punya dua kiblat).

Ma'asyiralmuslimin Rahimakumullah

Perkataan Kiblat dalam Alqur'an disebutkan sebanyak empat kali. Jumlahnya sama dengan bilangan arah "Mata Angin Patokan" (Point of the Compass). Itu bisa berarti bahwa umat Islam yang berada di Timur Ka'bah menghadap ke Barat, yang di Barat Ka'bah menghadap ke Timur, yang di Utara Ka'bah menghadap ke Selatan, dan yang di Selatan Ka'bah menghadap ke Utara. Khusus Umat Islam Indonesia yang berada di Timur Tenggara Ka'bah menghadap ke Barat Barat Laut.

Imam Asy Syafi'i menulis dalam kitab-nya "Ar Risalah" bahwa ; Semula Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis dalam shalat. Sebelum arah Kiblat ini dinasakh, tidak diperbolehkan untuk menghadap ke arah lain. Lalu perintah itu dinasakh dan sang Rasul diperintahkan supaya menghadap ke arah Baitullah (Ka'bah). Maka tidaklah sah bagi seseorang yang melakukan kewajiban shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis selamanya atau ke arah selain Baitul Haram. Kemudian beliau menegaskan ;

وَكُلٌّ كَانَ حَقًّا فِى وَقْتِهِ، فَكَانَ التَّوَجُهُ اِلَى بَيْتِ المُقَدّسِ— اَيَّامَ وَجَّهَ اللهُ اِلَيْهِ نَبِيََّهُ — : حَقًّا، ثُمَّ نَسَخَهُ، فَصَارَ الْحَقُّ فِى التَّوَجُّهِ اِلَى البَيْتِ الحَرَامِ اَبَــدًا، لاَ يَحِلُّ اِسْتِقْبَالُ غَيْرُهُ فِى مَكْتُوْبَةٍ، اِلاَّ فِى بَعْضِ الْخَوْفِ، اَوْ نَافِلَةٍ فِى سَفَرٍ اِسْتدِْلاَلاَ بِالْكِتَابِ والسّثنَّةِ
"Setiap arah (kiblat) sah pada masanya. Menghadap Baitul Maqdis — ketika Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menghadap kearahnya — adalah wajib. Setelah di-nasakh, yang wajib hanyalah menghadap ke Baitul Haram. Tidak ada arah yang dianggap sah dalam pelaksanaan shalat fardhu selainnya, kecuali shalat dalam keadaan takut pada bahaya atau shalat nafilah di atas kenderaan dalam suatu perjalanan sebagaimana disebutkan di dalam Alqur'an dan As Sunnah".

Masih menurut beliau ; Orang yang sudah mengetahui bahwa perintah Allah telah di-nasakh, maka harus mengikuti perintah yang baru dan meninggalkan perintah sebelumnya yang di-nasakh. Siapa yang tidak mengetahuinya boleh mengikuti terus kewajiban yang di-nasakh sampai dia tahu keadaan yang sebenarnya.Allah berfirman;

قَدْ نَرَىْ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَاكُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ
"Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke-kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu kearahnya . . .".

Beliau berkata, bila seseorang bertanya ; Mana bukti yang menunjukkan bahwa mereka diperintahkan untuk mengubah arah kiblatnya dari satu kiblat ke-kiblat yang lain ? Ucapnya, Aku akan menjawab ; Yaitu pada firman Allah :

سَـيَقُوْلُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمْ الَّتِى كَانُوْا عَلَيْهَا ؟ قُلْ للهِ الْمَشِرِقُ وَالْمَغْرِبُ، يَهْدِى مَنْ يَشَاءُ اِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
"Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berucap "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya ?" Katakanlah "Kepunyaan Allah-lah arah timur dan barat; Dia (Allah) memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".

Ma'asyiralmuslimin Rahimakumullah

Diriwayatkan Malik Bin Anas telah mengutip dari Yahya Bin Sa'id dari Sa'id Bin Al Musayyab yang mengatakan ;
صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا نَحْوَ بَيْتِ المُقَدَّسِ، ثُمَّ حُوِّلَتِ القِبْلَةُ قَبْلَ بَدْرٍ بِشَهْرَيْنِ
"Sang Rasul telah melakukan shalat selama enam belas bulan lamanya menghadap arah Baitul Maqdis. Kemudian kiblatnya diubah dua bulan sebelum pertempuran Badar"

Ibn Juraij juga meriwayatkan dari Atha' yang menukil dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda ;

اَلْبَيْتُ قِبْلَةٌ ِلاَهْلِ الْمَسْجِدِ وَالْمَسْجِدُ قِبْلَةٌ ِلاَهْلِ الْحَرَامِ وَالْحَرَامُ قِبْلَةٌ ِلاَهْلِ الاَرْضِ فِى مَشَارِقِهَا وَمَغَارِبِهَا مِنْ اُمَّتِى
"Baitullah (Ka'bah) adalah kiblat bagi orang yang shalat di Masjidil Haram. Sedang Masjidil Haram sebagai kiblat bagi penduduk tanah suci (Mekah). Dan kota Mekah merupakan kiblat bagi segenap penduduk bumi di belahan timur maupun belahan barat dari segenap umat-Ku".

Di sini jelas, bahwa Istiqbalul-qiblat (menghadap ke-arah Kiblat) merupakan syarat sahnya pelaksanaan shalat; kecuali shalat Khauf (shalat yang dilakukan pada saat-saat genting atau situasi yang sangat menakutkan) dan shalat sunnat di atas kenderaan dalam suatu perjalanan, baik darat, laut maupun udara. Itu artinya, shalat di Masjid atau Mushalla yang sudah nyata menyimpang arah kiblatnya bagi mereka yang berdomisili tetap di suatu tempat (mukim dekat Masjid) tidak mendapat imbalan pahala.

Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat ; Apabila seseorang shalat berdasarkan Ijtihadnya telah menghadap kiblat, tapi ternyata salah (tidak tepat) maka tidak diharuskan mengulang shalatnya. Kecuali menurut Asy Syafi'i, mesti diulang kembali. Beliau berkata ;

لاَيَجْزِيَهُ، لاَنَّ الْقِبْلَةَ شَرْطٌ مِنْ شُرُوْطِ الصَّلاَةْ
"Shalatnya tidak diperkenankan, karena menghadap kiblat itu merupakan suatu syarat daripada syarat-syarat (sah)nya shalat"

Ringkasnya, H. Sulaiman Rasjid menyimpulkan bahwa cara menghadap kiblat itu sebagai berikut ; Pertama, Orang yang berada di Mekah dan mungkin baginya menghadap Ka'bah, wajib atasnya menghadap Ka'bah sungguh-sungguh. Kedua, Orang yang berada dilingkungan Mesjid Nabi di Madinah, wajib atasnya menurut mihrab mesjid itu, sebab mihrab mesjid itu ditentukan oleh wahyu, dengan sendirinya tepat menghadap Ka'bah. Ketiga, Orang yang jauh dari Ka'bah sah baginya menghadap jihat Ka'bah.

Sekarang persoalannya mestikah menghadap Ka'bah sungguh-sungguh atau dipandang cukup menghadap jihat Ka'bah saja ? Kelompok aliran Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat wajib menghadap 'Ainul Ka'bah (Sosok bangunan Ka'bah). Sementara kelompok aliran Hanafiah dan Malikiyah berpendapat hanya wajib menghadap Jihatul Ka'bah (Arah Kiblat). Hal ini berlaku bagi orang shalat yang tidak melihat 'Ainul Ka'bah. Jika bisa melihatnya, maka wajib menghadap ke-Ainul Ka'bah. Begitu kesepakatan ulama mereka. Terlepas dari semua itu, setuju atau tidak, ihwal arah Kiblat yang dianut oleh banyak orang, cepat atau lambat, akan mengalami perubahan dan goncangan. Jikalau mau diajak berdialog dengan sains dan tehnologi yang semakin canggih di era globalisasi saat ini. Semoga Allah Ta'ala memberikan hidayah dan bimbingannya kepada kita semua untuk senantiasa ber-kiblat ke-Ka'bah (Baitullah Al Haram).

وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَاَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ

1 komentar:

Agus PA PALU mengatakan...

Alkhamdulillah Blog ini sangat bermanfaat

Posting Komentar